Kita tidak menyadari bahwa kita terlalu sering melakukan self-sabotage sehingga potensi diri kita tidak dapat berkembang. Malah dengan sering melakukan self-sabotage, kita terjebak dalam kebodohan dan kesengsaraan hidup. Tetapi, yang aneh, kita cenderung untuk mempertahankan dan melakukannya. Motif utamanya adalah karena melakukan self-sabotage itu menimbulkan rasa ketagihan atau kecanduan.
Apabila Anda kebetulan seorang perokok dan sudah tahu bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, dan impotensi, tapi tetap saja merokok, Anda termasuk orang yang melakukan self-sabotage. Kasus serupa banyak terjadi. Banyak orang yang tahu bahwa narkoba menyebabkan kesengsaraan hidup, tetapi mereka tetap saja melakukannya.
Tidak hanya itu, self-sabotage sering kali menghinggapi diri kita dalam merealisasikan sebuah rencana. Kita sering memiliki sebuah rencana yang bagus. Katakanlah rencana bisnis. Membuat sebuah rencana, kitalah ahlinya: sayangnya, kita juga yang ahli menggagalkannya. Rencana satu bulan dan konsep bisnis satu tahun dapat dengan mudah digagalkan dalam satu malam.
Kita terlalu sering menggagalkan rencana. Sejuta konsep atau rencana selalu muncul dalam kepada kita dengan mudah dan lancarnya. Perokok berkali-kali ingin segera berhenti merokok, namun belum juga ada tindakan nyata. Pecandu narkoba sering membuat perjanjian untuk tidak lagi kecanduan, tapi itu tetap saja hanya perjanjian. Mahasiswa/pelajar sering kali membuat jadwal belajar, tapi nyaris tidak pernah melaksanakannya. Dan, karyawan hampir setiap hari membuat agenda kerja, tapi hanya sedikit yang terlaksana.
Self-sabotage merupakan gejala split personality, gejala kepribadian yang tidak utuh, terutama karena ketidakseimbangan antara otak kiri dan otak kanan. Kecerdasan otak kiri (rasional) yang “ahli” dalam membuat rencana atau konsep tidak diimbangi dengan kecerdasan otak kanan yang “ahli” dalam pelaksanaan (komitmen). Kecerdasan otak kanan adalah kecerdasan emosional (melibatkan emosi) dalam melaksanakan suatu hal (rencana).
Orang yang hanya mengembangkan otak kirinya (rasional) cenderung ahli analisis atau sering disebut “ahli tentang”. Mereka sering kali bekerja sekedar bekerja kognitif, yang sering kali payah bila berada di lapangan.
Kenapa kita cenderung melakukan self-sabotage? Pertama, karena self-sabotage itu nikmat, senikmat rokok bagi perokok, dan senikmat sabu-sabu bagi pecandunya. Pikiran kita cenderung mengejar yang mudah, mengejar kenikmatan sesaat daripada susah-susah menghadapi tantangan (kesulitan) meskipun kita tahu bahwa belajar menghadapi kesulitan itu penting untuk masa depan. Kita terlalu sering berpihak pada godaan setan untuk kenikmatan sesaat.
Pada saat bersamaan, yaitu saat kita sedang berkolaborasi dengan setan untuk menggagalkan rencana, atau pada saat mau mengubah kebiasaan negatif ke positif, pikiran kita akan segera mengadakan negative self-talk. Kita segera membatin bahwa kita tidak bisa melakukannya, dengan seribu alasan tentang kemungkinan risiko yang bakal terjadi bila kita mau menjalankan rencana tersebut. Kita terlalu sayang untuk meninggalkan “zona nyaman” saat ini.
Jujur saja, kita terlalu sering melakukan negative self-talk daripada positive self-talk. Setiap hari kita terlalu sering mengatakan “tidak bisa” daripada mengatakan “bisa”. Apabila negative self-talk itu ibarat sampah, sudah ribuan ton sampah yang ditumpahkan ke dalam pikiran kita. Bila self-talk itu merupakan hasil selingkuh dengan setan berapa juta hasil pemikiran setan yang kita buat. Betapa pekat dan legamnya pikiran kita, dan betapa rapuhnya bangunan “rumah pikiran” kita bila bahan bakunya terbuat dari kotoran (sampah!) dan dihuni anak-anak setan.
Dengan demikian, kita tidak bisa berharap banyak dari konstruksi pikiran semacam itu. Apabila hukum pikiran mengatakan, “Apa pun yang Anda pikirkan, tubuh Anda akan menciptakan dan memberikan sesuai pikiran Anda.” Apa yang bisa Anda harap dari pikiran yang rapuh dan kotor seperti itu? Self-sabotage (setan) sungguh menjadi ancaman nyata dalam diri kita.
Kedua, self-sabotage terjadi karena adanya “Fear factor” (faktor rasa takut). Dalam hal ini, rasa takut pada hal-hal di luar kebiasaan atau di luar zona kenyamanan. Juga rasa takur akan kehilangan kenikmatan saat ini. Rasa takut akan kenikmatan rokok yang sudah mencandu dengan dirinya. Rasa takut gagal bila rencananya dijalankan: lebih baik gini aja!
“Fear factor” bukan saja berarti munculnya rasa takut, tetapi kata FEAR itu sendiri merupakan kependekan dari False Evidence Appearing Real. Artinya, bukti palsu/salah seolah-olah tampak nyata/benar. Semisal Anda mau berhenti merokok, pikiran Anda segera mencari sejumlah alasan/bukti (salah) untuk mempertahankan kebiasaan merokok, seperti merokok itu dapat mengurangi kegemukan, merokok itu menjadikan lebih kreatif, dan sejumlah alasan salah lainnya.
Bukan hanya untuk mengubah kebiasaan merokok, setiap kali kita mempunyai program baru yang menyangkut soal perubahan perilaku, atau setiap kali kita mencoba melaksanakan sebuah rencana, pikiran akan segera mencari-cari alasan (salah) agar rencana tersebut bisa dibatalkan. Semisal Anda mau menjalankan bisnis baru setelah beberapa kali mengalami kegagalan, kegagalan masa lalu itu sering kali Anda jadikan penyebab kegagalan berikutnya. Padahal, usaha baru itu memiliki dimensi dan ruang waktu berbeda. Alasan kegagalan masa lalu tidak serta-merta menjadi alasan kuat untuk tidak menjalankan bisnis baru. Sayangnya, alasan masa lalu yang salah sering kali menjadi alasan yang kuat (dibesar-besarkan dipikiran kita sendiri) untuk membatalkan usaha baru.
Semua itu sering terjadi karena pikiran atau diri kita sesungguhnya resistan terhadap perubahan. Sebab, setiap perubahan akan membawa risiko dan rasa sakit, sebuah kondisi yang cenderung dihindari pikiran, terutama pikiran yang penuh negative self-talk: pikiran rapuh yang banyak virusnya dan banyak anak setan yang tinggal di sana.
Kembali pada self-sabotage, bahwa self-sabotage itu nikmat dan cenderung mempertahankan FEAR factor. Self-sabotage merupakan godaan setan yang terkutuk, yang menjadikan diri kita terus bermanja-manja dengan kondisi nyaman sekarang hingga nyaris tidak ada perubahan hidup dalam diri kita.
Bagaimana caranya agar bisa keluar dari belenggu self-sabotage? Harus ada keberanian dan kesungguhan ingin berubah. Bukan hanya mau, tapi sungguh-sungguh mau. Harus ada niat kuat, sekuat ketika kita hendak menjalankan ibadah puasa. Dengan niat kuat, kita bisa menahan makan dan minum termasuk merokok minimal 12 jam saat berpuasa. Sayang, bulan puasa hanya menjadi ritual, tanpa pernah menjadi momentum untuk perubahan diri.
Selanjutnya, gunakan niat kuat itu untuk mengganti negative self-talk dengan positive self-talk. Ganti kata-kata “tidak bisa” menjadi “bisa” sesering mungkin. Ganti semua persepsi negatif dalam diri dengan persepsi positif. Bersihkan pikiran kotor dan rapuh dengan pikiran sehat dan kuat.
Caranya, afirmasi kata-kata positif sesering mungkin, jauh lebih sering dibandingkan dengan afirmasi kata-kata negatif yang selama ini kita lakukan. Semakin sering dan intens frekuensinya, semakin baik, sehat, dan kuat pikiran kita. Ibarat logika air kopi dan susu. Air kopi hitam (negative self-talk) dan air susu putih (positive self-talk). Bagaimana cara mengganti segelas air kopi dengan air susu tanpa menyentuh, menggeser, mengangkat, mengganti gelas, dan bahkan tanpa menggunakan alat apa pun? Caranya, tumpahkan air susu (positive self-talk) sebanyak-banyaknya ke dalam gelas (pikiran) yang berisi air kopi (negative self-talk) sehingga air kopi di gelas tersebut berubah menjadi air susu.
Tumpahkan atau masukkan dengan cara afirmasi positif (atau cara apa pun yang postif) ke dalam pikiran Anda, yang selama ini hitam dan pekat akibat terlalu sering melakukan negative self-talk, sampai pikiran Anda berubah warna menjadi putih dan bersih, serta sehat dan kuat. Manakala konstruksi pikiran sudah sehat dan kuat, self-sabotage segera menghilang dari alam pikiran kita: sebuah kondisi pikiran yang membuat diri kita mampu mengembangkan potensi diri secara optimal.